Wat Phra Kaew. Indah di poto, panas di TKP. |
Hari ini kami
akan wisata budaya. Melihat ikon Thailand yang sering dipakai di kepala penari
atau kostum tradisionalnya. Yak, candi berbentuk lancip berwarna kuning emas
ngejreng! Wat Phra Kaew (Temple of the Emerald Buddha) dan juga The Grand
Palace. Lokasi keduanya berdekatan.
Perjalanan dari
Sala Daeng menggunakan Sky Train, turun di stasiun Saphan Taksin ( hanya tiga
stasiun dari stasiun Sala Daeng) dengan tiket THB 25 (Rp.7.500). Keluar dari
stasiun segera menuju darmaga kecil di bawah jembatan. Di situ ada dua jenis
kapal, Tourist Boat dan Loko Boat. Sebaiknya pilih Loko Boat (biasanya dipakai
penduduk lokal) karena Loko lebih murah dan berhenti di tiap darmaga. Loko
seharga THB 15 (Rp4.500) dan bayar di atas kapal. Sedangkan Tourist boat
seharga THB 100 (Rp30.000) dan harus membeli tiket di konter darmaga tadi. Padahal
secara fisik hampir tak ada perbedaan antara Loko dengan Tourist boat. Kalau bingung
Tanya saja ke bagian informasi di darmaga.
Sungai Khao Phraya
( Chao Phraya- tulisan di Thailand beda-beda. Ada stasiun yang di keretanya
bertuliskan “Ponnawithi” eh di stasiunnya “Punnawithi”. Dan lagi, kayaknya tak
ada huruf “J” di tulisan Thailand, “Ratchadamri” dibaca /Rajadamri/, “Ratchapruek”
dibaca /Rajapruk/. *EYD-nya parah bener
dah!*).
Nah kembali ke
Khao Phraya tadi. Sebenarnya tidak terlalu lebar sih. Hampir sama dengan sungai
Musi di Palembang dengan karakter air yang sedikit berbeda. Sungai ini di kiri-kanannya
menempel bangunan menjulang. Tak heran di tembok bawah gedung-gedung agak kotor
sisa banjir kemarin. Banyak kapal-kapal berlalu-lalang di sungai karena
transportasi air cukup lancar. Nah untuk ke Grand palace turun di darmaga 9,
Darmaga Tha Chang.
Bangunan di tepi sungai Khao Phraya. |
Depan Kompleks Grand Palace |
Sebaiknya
memakai celana panjang ketika masuk ke sana. Kalau memakai celana pendek maka
harus meminjam celana dengan jaminan THB 200 yang nantinya bisa di-refund. Masalahnya
bukan di jaminannya, tapi pada celananya! Ukurannya lagi-lagi buat bule dengan
warna super mencolok! Bayangkan aku harus naikin celana itu sampai sedada hanya
biar pas dan gak kedodoran. Benar-benar gak pas untuk pose-pose.
Wat Phra kaew
adalah candi dengan gaya menjulang dan lancip berwarna kuning emas. Ornamen-ornamen
kecil di tiang sekitarnya terlihat rumit.
Busyet dah. Dengan gaya meniliti kupegang deh ornamen yang menyerupai motte
atau manik-manik pada jilbab itu.
Kompleks candi yang cocok di poto. |
“Don’t touch!!”
teriak mbak-mbak penjaga sambil berlari ke arahku. Sontak semua mata menatapku
seolah menatap kriminal berkulit eksotik. Aku segera menjauh dan masuk ke kuil Buddha,
ikut orang meditasi. *Mencoba lari diri dari rasa malu dan kesalahan* Suasana meditasi khidmat, ruangan cukup luas dengan Patung
Buddha besar berwarna emas. Interior yang super mewah, dengan lukisan dinding
tentang perjalanan Buddha.
Keluar dari
sana, aku berjalan lagi dan kutemukan tiang berornamen serupa dengan yang tadi.
Aku lirik kiri-kanan, sepi. Aku dekati tiang itu dan kuelus, kuraba,
kuterawang, kuremas! Hahaha. *puas*
Tak jauh dari
situ ada The Grand Palace. Sebuah bangunan dengan berpenjaga seperti patung di
depannya. Fungsi utamanya menurutku sih sebagai teman berpoto. Tapi boro-boro
mau nyembungin pipi atau ngeletakin dua jari di muka, lha wong senyum saja gak
mau. Pokoknya kayak patung. Tapi ada satu yang unik, dia berdiri di atas meja
kecil setinggi 50cm. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk berpose bareng bule. Maklum,
mas-mas prajuritnya pendek. Kalau tak ada meja itu bisa tenggelam deh
prajuritnya, kan malu.
Tiang yang tak boleh dijamah dan celana bule super norak. |
Ada ibu-ibu
meminta foto ke kami.
“Where are you
from?” Tanyanya ramah.
“Indonesia,” Jawab
kami tak kalah ramah.
“You know
Bambang?” Ibu itu bertanya dengan mata penasaran.
*Busyet, ada berapa nama Bambang di Indonesia*
“The city.”
Lanjut ibu itu.
“Owh,Malang.”
Jawab temanku yang dari Malang.
“Yes, Yes,
Malang.” Jawab ibu itu girang.
“it is for Sea Games,
right?” Lanjut ibu itu.
Kami melongo
sambil melirik teman Malang kami dengan tatapan aneh.
“Palembang!!” Jawab
kami bertiga kompak.
Kami segera
keluar dari kompleks itu menjelang pukul 03.00. kembali penginapan dan
istirahat. Malam ini kami akan menikmati wisata malam Khaosan Road.
Awalnya kami
akan menikmati Siam Ocean World. Tapi hati kecilku berontak. Masa jauh-jauh
dari daerah pesisir datang ke sini hanya untuk melihat laut buatan dengan
atraksi andalan Hiu. Hiu mah dijual di pinggir jalan kampungku. Malah aku
pernah membuat hiu bakar walau rasanya amis dan menjijikan. *Alasan sebenarnya sih, HTM THB 1000 (Rp300.000)*
hihi
Akhirnya kami
lanjutkan ke Khaosan. Khaosan adalah nama sebuah jalan dengan berbagai atraksi dan
penjualan souvenir serta tempat nongkrong. Letaknya yang agak jauh dari pusat
kota membuatnya tak dilalui Sky Train. Jadi kami naik taxi dari Siam. Sekitar 25
menit tanpa macet hanya bayar THB 100 ( Rp30.000) untuk empat jiwa. Ajib dah!
Tempat yang tak jadi kami masuki karena "prinsip" |
Khaosan hampir serupa
dengan Pat Pong, Cuma di sini tak banyak yang nawarin pingpong. Jalanan Khaosan
juga lebih panjang dan bercabang. Dengan bar-bar yang menampilkan live music, makanan pinggir jalan, dan
atraksi break dance jalanan membuat
Khaosan Layak dikunjungi. Bagi pencinta kuliner ekstrim ada kecoa, lalat, dan
kalajengking goreng tuh.
Aneka cemilan menggugah mual; kecoa dkk goreng |
Makanan halal
ada di ujung jalan Khaosan. Makanan India. Kami masuk di sana dengan keadaan
sepi. Seperti yang kuduga, makanan india yang “lebay” rempahpun terhidang. Warnanya
pun sesuai dengan gaya berpakaian orang india, gemar bermain warna. Aku memesan
Chicken Tika Masala, ayam berwarna merah membara. Chicken curry-nya serasa makan
ayam santan dengan rempah-rempah seisi dapur dimasukkin. Dan yang paling
dahsyat adalah sambalnya. Sudah pasti ada “sambal ijo” daun mint dan acar. Bedanya
acar india adalah, bawang merahnya merajalela dan dibiarkan sekitar dua hari di
acar itu baru dihidangakan, alhasil aku seperti makan bawang yang tidak segar
lagi *You know what I mean* Yeks! Si teman
Malang menasehatiku, agar jangan menyebut makanan dengan kata “aneh”, tapi
sebutlah dengan kata “unik”.
Dia segera
menyendok sambal dan memakannya.
Menu India yang unik. Tapi lumayan enak kok untuk ukuran orang lapar akut. :) |
“Hoeks!”
suaranya membahana seisi restoran yang sepi itu.
Kulihat sambal
yang dimakannya. Sambal berwarna coklat dengan irisan seperti lengkuas. *Nah loh, tahu rasa dah!*
Pertamaxkah?? wkakaka...sampe sekarang belum nemu alasan pergi ke Luar negeri cm buat liat kota2 yg mirip di indonesia. mungkin penasaran sama budaya nya aja kali yah..hmmm
BalasHapushahahah, beda jauh jkt-bkk.
BalasHapussitus-situs budayanya tak terlalu jauh dengan pusat kota.
hayuk ah kapan urang traveling bareng..hehehe
nice post dengan bahasa lu :p
BalasHapusmuhdca: thanks. ini hasil coret2, daripada coret2 dinding pagar orang kan mending coret2 di blog. hahaha
BalasHapus