Ceritera Traveling

Senin, 12 Desember 2011

Menggila di Bangkok ( Part # 2 )

Wat Phra Kaew. Indah di poto, panas di TKP. 

Hari ini kami akan wisata budaya. Melihat ikon Thailand yang sering dipakai di kepala penari atau kostum tradisionalnya. Yak, candi berbentuk lancip berwarna kuning emas ngejreng! Wat Phra Kaew (Temple of the Emerald Buddha) dan juga The Grand Palace. Lokasi keduanya berdekatan.
Perjalanan dari Sala Daeng menggunakan Sky Train, turun di stasiun Saphan Taksin ( hanya tiga stasiun dari stasiun Sala Daeng) dengan tiket THB 25 (Rp.7.500). Keluar dari stasiun segera menuju darmaga kecil di bawah jembatan. Di situ ada dua jenis kapal, Tourist Boat dan Loko Boat. Sebaiknya pilih Loko Boat (biasanya dipakai penduduk lokal) karena Loko lebih murah dan berhenti di tiap darmaga. Loko seharga THB 15 (Rp4.500) dan bayar di atas kapal. Sedangkan Tourist boat seharga THB 100 (Rp30.000) dan harus membeli tiket di konter darmaga tadi. Padahal secara fisik hampir tak ada perbedaan antara Loko dengan Tourist boat. Kalau bingung Tanya saja ke bagian informasi di darmaga.
Sungai Khao Phraya ( Chao Phraya- tulisan di Thailand beda-beda. Ada stasiun yang di keretanya bertuliskan “Ponnawithi” eh di stasiunnya “Punnawithi”. Dan lagi, kayaknya tak ada huruf “J” di tulisan Thailand, “Ratchadamri” dibaca /Rajadamri/, “Ratchapruek” dibaca /Rajapruk/. *EYD-nya parah bener dah!*).
Nah kembali ke Khao Phraya tadi. Sebenarnya tidak terlalu lebar sih. Hampir sama dengan sungai Musi di Palembang dengan karakter air yang sedikit berbeda. Sungai ini di kiri-kanannya menempel bangunan menjulang. Tak heran di tembok bawah gedung-gedung agak kotor sisa banjir kemarin. Banyak kapal-kapal berlalu-lalang di sungai karena transportasi air cukup lancar. Nah untuk ke Grand palace turun di darmaga 9, Darmaga Tha Chang.
Bangunan di tepi sungai Khao Phraya.
Depan Kompleks Grand Palace
Dari darmaga sekitar 700 meter sudah sampai di Gerbang Wat Phra Kaew. Harga tiket masuk THB 400 (Rp120.000) sudah bisa mengunjungi Grand Palace, Wat Phra kaew, dan beberapa museum (yang sayangnya tidak bisa saya kunjungi karena habis kebanjiran) tapi untuk warga Thailand gratis. Untuk Grand Palace ditutup pukul 15.30.
Sebaiknya memakai celana panjang ketika masuk ke sana. Kalau memakai celana pendek maka harus meminjam celana dengan jaminan THB 200 yang nantinya bisa di-refund. Masalahnya bukan di jaminannya, tapi pada celananya! Ukurannya lagi-lagi buat bule dengan warna super mencolok! Bayangkan aku harus naikin celana itu sampai sedada hanya biar pas dan gak kedodoran. Benar-benar gak pas untuk pose-pose.
Wat Phra kaew adalah candi dengan gaya menjulang dan lancip berwarna kuning emas. Ornamen-ornamen kecil  di tiang sekitarnya terlihat rumit. Busyet dah. Dengan gaya meniliti kupegang deh ornamen yang menyerupai motte atau manik-manik pada jilbab itu.
Kompleks candi yang cocok di poto.
“Don’t touch!!” teriak mbak-mbak penjaga sambil berlari ke arahku. Sontak semua mata menatapku seolah menatap kriminal berkulit eksotik. Aku segera menjauh dan masuk ke kuil Buddha, ikut orang meditasi. *Mencoba lari diri dari rasa malu dan kesalahan* Suasana meditasi khidmat, ruangan cukup luas dengan Patung Buddha besar berwarna emas. Interior yang super mewah, dengan lukisan dinding tentang perjalanan Buddha.
Keluar dari sana, aku berjalan lagi dan kutemukan tiang berornamen serupa dengan yang tadi. Aku lirik kiri-kanan, sepi. Aku dekati tiang itu dan kuelus, kuraba, kuterawang, kuremas! Hahaha. *puas*
Tak jauh dari situ ada The Grand Palace. Sebuah bangunan dengan berpenjaga seperti patung di depannya. Fungsi utamanya menurutku sih sebagai teman berpoto. Tapi boro-boro mau nyembungin pipi atau ngeletakin dua jari di muka, lha wong senyum saja gak mau. Pokoknya kayak patung. Tapi ada satu yang unik, dia berdiri di atas meja kecil setinggi 50cm. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk berpose bareng bule. Maklum, mas-mas prajuritnya pendek. Kalau tak ada meja itu bisa tenggelam deh prajuritnya, kan malu.
Tiang yang tak boleh dijamah dan celana bule super norak.
Ada ibu-ibu meminta foto ke kami.
“Where are you from?” Tanyanya ramah.
“Indonesia,” Jawab kami tak kalah ramah.
“You know Bambang?” Ibu itu bertanya dengan mata penasaran.
*Busyet, ada berapa nama Bambang di Indonesia*
“The city.” Lanjut ibu itu.
“Owh,Malang.” Jawab temanku yang dari Malang.
“Yes, Yes, Malang.” Jawab ibu itu girang.
“it is for Sea Games, right?” Lanjut ibu itu.
Kami melongo sambil melirik teman Malang kami dengan tatapan aneh.
“Palembang!!” Jawab kami bertiga kompak.
Kami segera keluar dari kompleks itu menjelang pukul 03.00. kembali penginapan dan istirahat. Malam ini kami akan menikmati wisata malam Khaosan Road.
Awalnya kami akan menikmati Siam Ocean World. Tapi hati kecilku berontak. Masa jauh-jauh dari daerah pesisir datang ke sini hanya untuk melihat laut buatan dengan atraksi andalan Hiu. Hiu mah dijual di pinggir jalan kampungku. Malah aku pernah membuat hiu bakar walau rasanya amis dan menjijikan. *Alasan sebenarnya sih, HTM THB 1000 (Rp300.000)* hihi
Tempat yang tak jadi kami masuki karena "prinsip"
 Akhirnya kami lanjutkan ke Khaosan. Khaosan adalah nama sebuah jalan dengan berbagai atraksi dan penjualan souvenir serta tempat nongkrong. Letaknya yang agak jauh dari pusat kota membuatnya tak dilalui Sky Train. Jadi kami naik taxi dari Siam. Sekitar 25 menit tanpa macet hanya bayar THB 100 ( Rp30.000) untuk empat jiwa. Ajib dah!
Khaosan hampir serupa dengan Pat Pong, Cuma di sini tak banyak yang nawarin pingpong. Jalanan Khaosan juga lebih panjang dan bercabang. Dengan bar-bar yang menampilkan live music, makanan pinggir jalan, dan atraksi break dance jalanan membuat Khaosan Layak dikunjungi. Bagi pencinta kuliner ekstrim ada kecoa, lalat, dan kalajengking goreng tuh.
Aneka cemilan menggugah mual; kecoa dkk goreng
Makanan halal ada di ujung jalan Khaosan. Makanan India. Kami masuk di sana dengan keadaan sepi. Seperti yang kuduga, makanan india yang “lebay” rempahpun terhidang. Warnanya pun sesuai dengan gaya berpakaian orang india, gemar bermain warna. Aku memesan Chicken Tika Masala, ayam berwarna merah membara. Chicken curry-nya serasa makan ayam santan dengan rempah-rempah seisi dapur dimasukkin. Dan yang paling dahsyat adalah sambalnya. Sudah pasti ada “sambal ijo” daun mint dan acar. Bedanya acar india adalah, bawang merahnya merajalela dan dibiarkan sekitar dua hari di acar itu baru dihidangakan, alhasil aku seperti makan bawang yang tidak segar lagi *You know what I mean* Yeks! Si teman Malang menasehatiku, agar jangan menyebut makanan dengan kata “aneh”, tapi sebutlah dengan kata “unik”.
Menu India yang unik. Tapi lumayan enak kok  untuk ukuran orang lapar akut. :)
 Dia segera menyendok sambal dan memakannya.
“Hoeks!” suaranya membahana seisi restoran yang sepi itu.
Kulihat sambal yang dimakannya. Sambal berwarna coklat dengan irisan seperti lengkuas. *Nah loh, tahu rasa dah!*
Seperti biasa, begitu kami masuk maka pelanggan lain ngantri ikut masuk. Beberapa gerombolan bule pirang masuk dan makan di situ. Bener-bener penglaris kami mah.**
Hingar bingar Khaosan. karung di belakang itu bukan berisi beras, tapi berisi pasir untuk menghalau banjir.

4 komentar:

  1. Pertamaxkah?? wkakaka...sampe sekarang belum nemu alasan pergi ke Luar negeri cm buat liat kota2 yg mirip di indonesia. mungkin penasaran sama budaya nya aja kali yah..hmmm

    BalasHapus
  2. hahahah, beda jauh jkt-bkk.

    situs-situs budayanya tak terlalu jauh dengan pusat kota.

    hayuk ah kapan urang traveling bareng..hehehe

    BalasHapus
  3. muhdca: thanks. ini hasil coret2, daripada coret2 dinding pagar orang kan mending coret2 di blog. hahaha

    BalasHapus